D’Ustaz: Belajar Agama Lewat Novel “Dakwah”
![]() |
Dok pri @raramuhammad09 |
Awal bulan Maret
ini saya sempat diundang menghadiri peluncuran novel di salah satu cafe di
daerah Setiabudi Bandung. Sore itu saya datang agak telat karena hujan cukup
deras. Awalnya mau mengurungkan niat untuk datang, tapi nggak enak karena sudah
kadung janji. Meski agak malu karena datang telat, tapi untungnya masih
disambut baik oleh panitia acara dan kebagian kursi paling depan.
Ketika saya
datang tentu acara sudah berjalan mungkin sekitar 15-20 menitan. Meski agak
bingung karena nggak mengikuti dari awal, saya coba perlahan-lahan untuk
cari-cari arah pembicaraannya kemana. Ada tiga orang pembicara ditambah satu
moderator didepan saya. Salah satu yang disebut dengan panggilan Kang Icon
terlihat cukup dominan dan gaya bicaranya filosofis dan “berat.” Khas dengan
gaya dosen filsafat meski dengan tampilan sederhana memakai kaos oblong.
Dari paparan Kang
Icon mengenai novel D’Ustaz yang membahas tentang agama, dakwah, juga hidayah,
ia sempat bilang kalau dari halaman awal sampai halaman 100 sekian novel ini
cukup membosankan bagi beliau. Namun di sisi lain, Kang Icon bilang jika novel
ini mengingatkan kita bahwa tugas dakwah bukan hanya tugas ustadz atau ulama
saja, tapi tugas semua orang.
Selanjutnya yang
ditunggu-tunggu tentu sang penulis novel. Dari tampilannya jauh dari gambaran
seorang ustadz. Bahkan kalau dilihat sekilas, nggak ada tampang seorang
muthowif (pembimbing umrah atau haji). Kang Muaz Malik yang jago nyanyi dan
main gitar justru lebih terlihat seperti anak band ketimbang ustad pada
umumnya. Orangnya sangat ramah, sunda pisan, dan kadang terlontar bahasa sunda
kasar atau umpatan yang pasti bukan ciri khas ustad banget deh.
Melihat penulisnya
yang seperti ini saya baru ngeh setelah menamatkan novel D’Ustaz karangannya.
Kang Muaz yang sehari-harinya mengajar ngaji di cafe memang bisa disebut ustad “jadi-jadian.”
Tapi meski nggak seperti ustad kebanyakan yang berpeci dan hafal Al-Quran dan
banyak Hadits, ia mencoba untuk menunaikan perintah-Nya yakni berdakwah dan
mengamalkan ilmu yang dimiliki.
Isi novelnya
sendiri merupakan cerita seorang ustad yang mengajar ngaji di cafe. Murid-muridnya
adalah pegawai cafe dengan beragam kemampuan. Tentunya lebih banyak yang masih
awam dengan ilmu agama khususnya mengaji. Satu hal yang keren, ustad ini
direkrut oleh pemilik cafe, seorang mualaf yang khawatir jika pegawainya jadi “beban”
tanggungan di hari akhir karena tidak tahu apa-apa soal agama.
![]() |
Dok pri @raramuhammad09 |
Kehidupan di
ustad di cafe ini yang banyak di bahas di novel, bagaimana cafe yang dulunya
penuh dengan lukisan “porno” justru malah jadi tempat mengaji. Sebagi ustad
yang dihormati dan dianggap memiliki ilmu agama paling tinggi, ustad ini juga
jadi tempat para pegawai cafe untuk menyelesaikan masalah. Lucunya, banyak
kejadian-kejadian yang kebetulan yang membuat si ustad justru makin beken dan
dianggap sakti. Contohnya, ketika salah satu pegawai cafe Mbak Pur menelpon
tengah malam untuk minta solusi mengenai anaknya yang jadi TKW sedang
bermasalah dengan pacarnya, Mbak Pur ingin anaknya segera putus hubungan dengan
sang pacar karena sudah dimanfaatkan bahkan sempat disiksa. Sudah sejak lama
Mbak Pur menasehati anaknya namun anaknya tetap saja kekeuh dengan pilihan
hatinya.
Tengah malam
dengan kantuk dan setengah sadar si ustad menerima telpon dari Mbak Pur bilang
kalau besok saja urusannya dibicarakan. Anehnya pagi, Mbak Pur menerima telpon
jika anaknya sudah memutus hubungan dengan pacaranya. Mbak Pur percaya saja
jika hal ini terjadi akibat ia meminta “pertolongan” pada Pak Ustad yang
dianggap doanya lebih makbul. Padahal kenyataanya si ustad saja tak tahu apa
yang dibicarakan di telpon dengan Mbak Pur saat tengah malam tersebut.
Tak hanya
selipan-selipan humor, novel ini juga menujukan jika ustad tak ada bedanya
dengan orang kebanyakan. Selayaknya manusia biasa, si ustad pun jatuh cinta. Namun
yang aneh, ustad ini jatuh cinta hanya karena sebuah surat. Surat yang berisikan
penyesalan seorang hamba pada Tuhannya atas dosa yang dia perbuat, juga
ungkapan kecintaannya pada kekasihnya, Rasulullah Saw. Tanpa melihat wajah,
hanya berbekal nama, seketika ustad jatuh cinta begitu saja.
Bagi saya
pribadi, jalan ceritanya biasa tapi dikemas berbeda. Jika ini film, meski bukan
cerita yang luar biasa, penonton harus memperhatikan dengan seksama jalan
ceritanya. Nggak bisa dipercepat karena sekali ketinggalan, penonton nggak akan
mudeng dengan ending ceritanya yang cukup bikin terkejut.
Meski buku ini
merupakan sebuah cerita, novel ini juga seperti sebuah buku agama yang ada
selipan-selipan hadits dan juga cerita di zaman rasul. Persis seperti
dakwah-dakwah yang disampaikan para ustad dan ulama di pengajian tapi tidak
membuat pembaca seperti digurui atau diceramahi.
Sama seperti uraian
dan paparan Kang Icon tentang agama saat peluncuran buku ini, apa yang
diucapkan Kang Icon lebih banyak membuat pendengar merenung mengenai tingkat keimanan
kita sudah sebatas mana ? dakwah kita sudah para siapa saja? ilmu yang kita
pelajari sudah digunakan untuk apa saja?
![]() |
Dok pri @raramuhammad09 |
Seusai membaca
novel ini, saya justru jadi ingat untuk introspeksi diri. Tingkat keimanan saya
masih belum ada apa-apanya jika belum bisa mengamalkan ilmu yang sudah
dipelajari. Satu hal yang sering Ustad Miftah rasakan didalam novel adalah rasa
sombong yang halus tiba-tiba muncul dalam hati. Merasa lebih baik dari segi
agama dari yang lain hanya karena berada dalam lingkungan yang jauh dari kata
religius.
Hal ini juga yang
saya rasakan, kadang terlalu mudah merasa sombong padahal yang patut sombong
hanya Sang Pemilik Dunia. Hanya karena sering sholat atau berkerudung tak
lantas membuat saya jadi lebih baik daripada orang lain, tak pantas merasa diri
lebih baik apalagi sombong. Hal –hal ini lah yang di bagi sang penulis dengan
para pembaca. Untuk merasa rendah diri dan selalu berusaha bermanfaat untuk
sesama dimanapun berada.
Menurut saya,
buku ini cocok bagi siapapun yang butuh asupan rohani tapi bosan jika harus
mendengar ceramah. Tak hanya sekedar novel, buku ini juga alat dakwah penulis
terhadap para pembacanya dan beruntungnya penulis cukup berhasil dengan
dakwahnya.
Sebagaimana dunia selalu berubah, cara dan model dakwah pun harus mengikuti perkembangan zaman agar bisa lebih ngena dengan target yang disasar.
ReplyDelete