D’Ustaz: Belajar Agama Lewat Novel “Dakwah”

March 20, 2018

Dok pri @raramuhammad09

Awal bulan Maret ini saya sempat diundang menghadiri peluncuran novel di salah satu cafe di daerah Setiabudi Bandung. Sore itu saya datang agak telat karena hujan cukup deras. Awalnya mau mengurungkan niat untuk datang, tapi nggak enak karena sudah kadung janji. Meski agak malu karena datang telat, tapi untungnya masih disambut baik oleh panitia acara dan kebagian kursi paling depan.

Ketika saya datang tentu acara sudah berjalan mungkin sekitar 15-20 menitan. Meski agak bingung karena nggak mengikuti dari awal, saya coba perlahan-lahan untuk cari-cari arah pembicaraannya kemana. Ada tiga orang pembicara ditambah satu moderator didepan saya. Salah satu yang disebut dengan panggilan Kang Icon terlihat cukup dominan dan gaya bicaranya filosofis dan “berat.” Khas dengan gaya dosen filsafat meski dengan tampilan sederhana memakai kaos oblong.

Dari paparan Kang Icon mengenai novel D’Ustaz yang membahas tentang agama, dakwah, juga hidayah, ia sempat bilang kalau dari halaman awal sampai halaman 100 sekian novel ini cukup membosankan bagi beliau. Namun di sisi lain, Kang Icon bilang jika novel ini mengingatkan kita bahwa tugas dakwah bukan hanya tugas ustadz atau ulama saja, tapi tugas semua orang.

Selanjutnya yang ditunggu-tunggu tentu sang penulis novel. Dari tampilannya jauh dari gambaran seorang ustadz. Bahkan kalau dilihat sekilas, nggak ada tampang seorang muthowif (pembimbing umrah atau haji). Kang Muaz Malik yang jago nyanyi dan main gitar justru lebih terlihat seperti anak band ketimbang ustad pada umumnya. Orangnya sangat ramah, sunda pisan, dan kadang terlontar bahasa sunda kasar atau umpatan yang pasti bukan ciri khas ustad banget deh.

Melihat penulisnya yang seperti ini saya baru ngeh setelah menamatkan novel D’Ustaz karangannya. 
Kang Muaz yang sehari-harinya mengajar ngaji di cafe memang bisa disebut ustad “jadi-jadian.” Tapi meski nggak seperti ustad kebanyakan yang berpeci dan hafal Al-Quran dan banyak Hadits, ia mencoba untuk menunaikan perintah-Nya yakni berdakwah dan mengamalkan ilmu yang dimiliki.

Isi novelnya sendiri merupakan cerita seorang ustad yang mengajar ngaji di cafe. Murid-muridnya adalah pegawai cafe dengan beragam kemampuan. Tentunya lebih banyak yang masih awam dengan ilmu agama khususnya mengaji. Satu hal yang keren, ustad ini direkrut oleh pemilik cafe, seorang mualaf yang khawatir jika pegawainya jadi “beban” tanggungan di hari akhir karena tidak tahu apa-apa soal agama.

Dok pri @raramuhammad09
Kehidupan di ustad di cafe ini yang banyak di bahas di novel, bagaimana cafe yang dulunya penuh dengan lukisan “porno” justru malah jadi tempat mengaji. Sebagi ustad yang dihormati dan dianggap memiliki ilmu agama paling tinggi, ustad ini juga jadi tempat para pegawai cafe untuk menyelesaikan masalah. Lucunya, banyak kejadian-kejadian yang kebetulan yang membuat si ustad justru makin beken dan dianggap sakti. Contohnya, ketika salah satu pegawai cafe Mbak Pur menelpon tengah malam untuk minta solusi mengenai anaknya yang jadi TKW sedang bermasalah dengan pacarnya, Mbak Pur ingin anaknya segera putus hubungan dengan sang pacar karena sudah dimanfaatkan bahkan sempat disiksa. Sudah sejak lama Mbak Pur menasehati anaknya namun anaknya tetap saja kekeuh dengan pilihan hatinya.

Tengah malam dengan kantuk dan setengah sadar si ustad menerima telpon dari Mbak Pur bilang kalau besok saja urusannya dibicarakan. Anehnya pagi, Mbak Pur menerima telpon jika anaknya sudah memutus hubungan dengan pacaranya. Mbak Pur percaya saja jika hal ini terjadi akibat ia meminta “pertolongan” pada Pak Ustad yang dianggap doanya lebih makbul. Padahal kenyataanya si ustad saja tak tahu apa yang dibicarakan di telpon dengan Mbak Pur saat tengah malam tersebut.

Tak hanya selipan-selipan humor, novel ini juga menujukan jika ustad tak ada bedanya dengan orang kebanyakan. Selayaknya manusia biasa, si ustad pun jatuh cinta. Namun yang aneh, ustad ini jatuh cinta hanya karena sebuah surat. Surat yang berisikan penyesalan seorang hamba pada Tuhannya atas dosa yang dia perbuat, juga ungkapan kecintaannya pada kekasihnya, Rasulullah Saw. Tanpa melihat wajah, hanya berbekal nama, seketika ustad jatuh cinta begitu saja.

Bagi saya pribadi, jalan ceritanya biasa tapi dikemas berbeda. Jika ini film, meski bukan cerita yang luar biasa, penonton harus memperhatikan dengan seksama jalan ceritanya. Nggak bisa dipercepat karena sekali ketinggalan, penonton nggak akan mudeng dengan ending ceritanya yang cukup bikin terkejut.

Meski buku ini merupakan sebuah cerita, novel ini juga seperti sebuah buku agama yang ada selipan-selipan hadits dan juga cerita di zaman rasul. Persis seperti dakwah-dakwah yang disampaikan para ustad dan ulama di pengajian tapi tidak membuat pembaca seperti digurui atau diceramahi.
Sama seperti uraian dan paparan Kang Icon tentang agama saat peluncuran buku ini, apa yang diucapkan Kang Icon lebih banyak membuat pendengar merenung mengenai tingkat keimanan kita sudah sebatas mana ? dakwah kita sudah para siapa saja? ilmu yang kita pelajari sudah digunakan untuk apa saja?

Dok pri @raramuhammad09
Seusai membaca novel ini, saya justru jadi ingat untuk introspeksi diri. Tingkat keimanan saya masih belum ada apa-apanya jika belum bisa mengamalkan ilmu yang sudah dipelajari. Satu hal yang sering Ustad Miftah rasakan didalam novel adalah rasa sombong yang halus tiba-tiba muncul dalam hati. Merasa lebih baik dari segi agama dari yang lain hanya karena berada dalam lingkungan yang jauh dari kata religius. 

Hal ini juga yang saya rasakan, kadang terlalu mudah merasa sombong padahal yang patut sombong hanya Sang Pemilik Dunia. Hanya karena sering sholat atau berkerudung tak lantas membuat saya jadi lebih baik daripada orang lain, tak pantas merasa diri lebih baik apalagi sombong. Hal –hal ini lah yang di bagi sang penulis dengan para pembaca. Untuk merasa rendah diri dan selalu berusaha bermanfaat untuk sesama dimanapun berada. 

Menurut saya, buku ini cocok bagi siapapun yang butuh asupan rohani tapi bosan jika harus mendengar ceramah. Tak hanya sekedar novel, buku ini juga alat dakwah penulis terhadap para pembacanya dan beruntungnya penulis cukup berhasil dengan dakwahnya.

1 comment:

  1. Sebagaimana dunia selalu berubah, cara dan model dakwah pun harus mengikuti perkembangan zaman agar bisa lebih ngena dengan target yang disasar.

    ReplyDelete

Powered by Blogger.